6 Tradisi Budaya Suku Sunda Berjalan Turun Temurun

6 Tradisi Budaya Suku Sunda Berjalan Turun Temurun – Budaya dan tradisi Sunda merupakan warisan budaya yang kaya dan beragam. Salah satu aspek penting dari budaya Sunda adalah keseniannya. Kesenian tradisional Sunda meliputi tarian khas, lagu daerah, cerita rakyat, hingga tradisi yang diwariskan turun temurun. Selain kesenian, tradisi Sunda juga terwujud dalam beragam upacara adat, salah satunya adalah upacara Seren Taun. Upacara ini merupakan ungkapan syukur dan doa masyarakat Sunda atas suka duka yang mereka alami, terutama dalam bidang pertanian selama setahun.

Budaya Sunda juga dikenal karena filosofi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Misalnya, terdapat konsep “cageur” yang berarti sehat, “bageur” yang berarti baik, “bener” yang berarti benar atau jujur, “singer” yang berarti teliti, dan “pinter” yang berarti cerdas. Nilai-nilai ini menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Sunda dan tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa pertama yang melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Mereka memiliki kepercayaan asli yang disebut Sunda Wiwitan, yang memiliki konsep peranan hidup manusia, seperti Tri Tangtu, yang mengacu pada pandangan akan konsepsi keseimbangan peneguh dunia.

Baca Juga : 8 Festival Budaya di Jalankan Suku Tionghoa

Tembuni

Tradisi Sunda Tembuni merupakan warisan budaya yang telah diwariskan turun temurun dalam masyarakat Sunda. Tradisi ini dilaksanakan setelah proses persalinan dengan tujuan untuk memastikan keselamatan dan kebahagiaan bayi yang baru lahir. Dalam bahasa Sunda, “Tembuni” mengacu pada plasenta bayi atau yang dikenal sebagai “ari-ari.” Menurut kepercayaan tradisional setempat, Tembuni dianggap sebagai saudara kandung bayi yang tidak boleh dibuang begitu saja.

Oleh karena itu, Tembuni harus menjalani sebuah ritual khusus sebelum dikubur atau dihanyutkan. Setelah bayi lahir, Tembuni akan dibersihkan dan ditempatkan dalam sebuah kendi. Kemudian, Tembuni akan diberikan bumbu-bumbu seperti garam, asam, dan gula merah. Kendi yang berisi Tembuni akan ditutupi dengan sehelai kain putih dan diberi sebuah bambu kecil agar tetap dapat menerima udara.

Ngaruwat Bumi

Tradisi Ngaruwat Bumi salah satunya dapat ditemukan di Desa Banceuy. Kata “Ngaruwat Bumi” berasal dari kata “ngarawat,” yang artinya mengumpulkan atau merawat. Dengan demikian, secara keseluruhan, tradisi ini mengacu pada pengumpulan seluruh anggota masyarakat dan hasil bumi, termasuk bahan mentah, setengah jadi, dan barang yang sudah matang. Pelaksanaan Ngaruwat Bumi di Kampung Banceuy dilakukan pada hari Rabu terakhir dalam bulan Rayagung atau bulan Dzulhijjah, sebagai persiapan menyambut tahun baru Islam.

Turun Tanah

Turun Tanah adalah suatu tradisi Sunda di mana orang tua mengenalkan anak mereka pada pengalaman berjalan atau menginjakkan kakinya pertama kali di atas tanah. Tujuan dari pelaksanaan Turun Tanah termasuk di antaranya adalah untuk membentuk karakter anak agar menjadi individu yang jujur, memiliki kualitas ibadah yang baik, berjiwa dermawan, dan memiliki tingkat etos kerja yang tinggi. Selamatan Turun Tanah umumnya diadakan ketika seorang anak mencapai usia 7 bulan.

Seren Taun

Tradisi Sunda Seren Taun adalah sebuah tradisi yang masih berlangsung di beberapa daerah di Jawa Barat seperti Sukabumi, Kuningan, dan Banten. Tradisi Seren Taun ini biasanya dilakukan setelah panen, ketika penduduk setempat mengumpulkan hasil panen padi dari sawah dan menyimpannya di leuit atau lumbung. Selama pelaksanaan tradisi ini, seringkali diiringi dengan alat musik khas Sunda yang menambahkan nuansa khusus pada acara tersebut.

Seren Taun merupakan sebuah tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Jawa Barat sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang mereka peroleh. Dalam buku berjudul Seren Taun: Merawat Tradisi di Cigugur-Kuningan yang ditulis oleh Dheka Dwi Agustiningsih, Seren Taun diartikan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Sunda kepada Tuhan atas semua hasil bumi yang telah mereka terima. Hasil panen yang mereka kumpulkan meliputi padi, umbi-umbian, buah-buahan, tanaman, air, dan segala yang diberikan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. Penyelenggaraan Seren Taun biasanya berbentuk upacara adat yang memiliki makna mendalam.

Hajat Laut

Hajat laut atau pesta laut adalah sebuah peristiwa tradisional yang diadakan oleh komunitas nelayan di wilayah Jawa Barat seperti Pelabuhanratu dan Pangandaran. Bisa dikatakan bahwa tradisi Sunda ini merupakan sebuah upacara adat dan kebiasaan yang diwariskan oleh masyarakat Sunda di berbagai daerah. Salah satu tujuan utama dari hajat laut adalah untuk menyatakan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh oleh para nelayan. Yang menarik, tradisi hajat laut secara rutin diadakan sekali dalam setahun, khususnya pada bulan Muharam. Tradisi hajat laut ini telah berlangsung selama sekitar satu setengah abad yang lalu.

Tingkeban

Tingkeban adalah sebuah tradisi Sunda yang menjadi bagian dari adat kebiasaan masyarakatnya. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan selamat kepada seorang wanita ketika kehamilannya telah mencapai usia 7 bulan. Tujuan utama dari pelaksanaan Tingkeban adalah untuk memohon berkah dan perlindungan dari Tuhan bagi keselamatan calon ibu dan anak yang dikandungnya. Pentingnya Tingkeban terutama terlihat ketika anak yang dikandung merupakan anak pertama bagi ibu dan ayahnya.

8 Festival Budaya di Jalankan Suku Tionghoa

8 Festival Budaya di Jalankan Suku Tionghoa – Indonesia terkenal dengan berbagai macam adat dan budayanya, salah satunya budaya Tionghoa. Budaya Tionghoa merupakan budaya yang paling kompleks dan sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia seiring dengan banyaknya orang China yang memilih untuk bermigrasi ke luar negeri. Budaya Tionghoa mencerminkan nilai luhur, kebiasaan dan bakti kepada leluhur. Meskipun budaya Tionghoa adalah salah satu kebudayaan yang paling tua di dunia yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, tapi budaya Tionghoa mampu bertahan hingga saat ini.

Festival Ceng Beng (清明节; Qing Ming Jie)

Festival Qing Ming atau Ceng Beng adalah hari di mana masyarakat Tionghoa melakukan ziarah ke kuburan leluhurnya, sekalian membersihkannya dan bersembahyang di makam sambil membawa buah-buahan, kue, makanan, serta karangan bunga. Hari Ceng Beng biasanya jatuh pada tanggal 5 April kalender Masehi. Kegiatan ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan (mengenang) kepada leluhur atau keluarga yang telah meninggal.

Baca Juga : Menjelajahi 6 Objek Wisata Rahasia Tasmania yang Tersembunyi

Festival Qi Xi (七夕节; Qi Xi Jie)

Festival Qi Xi atau biasa disebut dengan merupakan Festival Qi Qiao yang romantis dalam tradisi dan kebudayaan Tionghoa. Bahkan festival ini dikatakan sebagai hari valentinenya masyarakat Tiongkok. Festival Qi Xi ini memperingati kisah romantis antara pria penggembala Niu Lang dan Zhi Nu si gadis penenun yang menurut cerita hanya dapat bertemu sekali dalam setahun. Festival ini jatuh setiap tanggal 7 bulan 7 penanggalan Imlek. Pada Malam Festival Qi Xi, gadis-gadis muda melakukan permohonan dan doa agar dapat meningkatkan keterampilan seni mereka dan juga memohon supaya mendapatkan suami yang setia dan baik serta mencintainya.

Festival Ronde (冬至节; Dong Zhi Jie)

Festival Musim Dingin, atau di Indonesia lebih dikenal dengan Festival Ronde jatuh setiap tanggal 22 Desember kalender masehi. Pada festival ini biasanya orang akan membuat kue onde dan memakannya bersama keluarga. Asal usul festival ini dapat ditelusuri kembali ke filsafat Tao ‘Yin dan Yang’ sebagai keseimbangan dan harmoni dalam alam semesta. Festival ini mulai dirayakan pada zaman dinasti Han (206-220 SM). Pada zaman sekarang ini festival musim dingin dirayakan dengan sangat meriah seperti di Harbin. Bahkan kota yang terletak di paling utara China ini menjadi salah satu dari tempat-tempat yang menyelenggarakan festival es dan salju di dunia.

Festival Tiong Ciu (中元节; Zhong Yuan Jie)

Festival musim gugur atau biasa disebut dengan Tiong Ciu Pia (makan kue pia/kue bulan), merupakan hari raya panen. Festival ini dirayakan setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek. Festival musim gugur dimulai sekitar zaman dinasti Xia dan Sheng (2000-1600 SM). Pada dinasti Zhou, rakyat merayakan dengan memuja bulan. Pada dinasti Tang, tradisi itu lebih jelas dan merakyat. Pada dinasti Song selatan (1127-1279 M), orang mulai mengirimkan kue bulan yang bergambar kelinci kepada rekan dan keluarga sebagai simbol keutuhan keluarga. Tradisi yang paling utama yang sampai sekarang masih ada adalah berkumpul bersama keluarga untuk menikmati bulan sambil menikmati penganan khas kue bulan sambil meminum arak (minuman keras khas negeri Tiongkok) atau teh. Berikut informasi selengkapnya mengenai Festival Tiong Ciu Pia.

Festival Chong Yang (重阳节; Chong Yang Jie)

Festival Chong Yang jatuh pada setiap tanggal 9 bulan 9 penanggalan Imlek (Hokkian : kaw-kaw). Festival Chong Yang yang memiliki arti panjang umur ini juga dirayakan sebagai Hari Lansia (Lanjut Usia) oleh Warga Tiongkok. Menurut kitab I Ching, angka sembilan memiliki sifat ‘Yang’ atau positif. Sementara angka sembilan 九 (Jiǔ) merupakan angka tertinggi dari angka-angka yang lainnya, dan mempunyai bunyi yang sama dengan ‘Jiu-Jiu’ yang artinya ‘lama-lama’, jadi sering diartikan sebagai panjang umur. Festival Chong Yang paling ramai diselenggarakan di Hong Kong dan Tiongkok daratan. Pada festival Chong Yang, orang sering berkumpul untuk berpesta bersama, menikmati bunga krisan, mendaki gunung dan makan kue spesial. Festival ini juga dikenal dengan istilah ‘double nine Festival’.

Festival Tahun Baru Imlek (春节; Chun Jie)

Tahun Baru Imlek atau Festival Musim Semi biasanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa hingga kini dengan sangat meriah, dengan menggantung berbagai macam pernak-perniknya, seperti lampion merah, menempel kertas merah bertuliskan ‘FU’, menyiapkan angpao, sampai pesta kembang api dan tarian naga serta barongsai.

Festival Cap Go Meh (元宵节; Yuan Xiao Jie)

Festival Yuan Xiao atau biasa dikenal dengan perayaan Cap Go Meh jatuh setiap tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek. Sama halnya dengan perayaan Imlek, perayaan Cap Go Meh ini juga dirayakan dengan sangat meriah di beberapa negara yang tersebar di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, festival Cap Go Meh ini dilakukan upacara kirab atau turun ke jalan raya dengan menggotong Kio/usungan yang diisi/dimuat arca para Dewa. Bahkan, di beberapa kota seperti di daerah Jakarta dan di Manado, ada atraksi ‘lok thung’ atau ‘thang sin’. Dimana ada seseorang yang menjadi medium perantara, dimana biasanya akan melakukan beberapa atraksi sayat lidah, memotong lengan/badannya dengan sabetan pedang dan sebagainya, dan dipercaya telah dirasuki roh Dewa untuk memberikan berkat bagi umat-Nya.

Festival Duan Wu (端午节; Duan Wu Jie)

Festival Duan Wu sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Hingga saat ini, ada 2 kegiatan yang terus dilakukan masyarakat Tionghoa, yakni makan Bak Chang dan perlombaan perahu naga. Salah satu asal usul dari festival Duan Wu ini adalah untuk mengenang patriot Qu Yuan yang mati bunuh diri dengan terjun ke sungai karena kecintaan dan kesetiaannya pada negara/dinasti Chu. Festival ini dilangsungkan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.

 7 Keunikan dari Kebudayaan Suku Minahasa

 7 Keunikan dari Kebudayaan Suku Minahasa – Tradisi unik suku Minahasa masih bertahan di tengah gempuran budaya lain yang terus berdatangan. Hal ini terlihat dari masih ditampilkannya tradisi tersebut oleh masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara dalam setiap kesempatan. Minahasa merupakan suku yang mendiami kawasan Sulawesi Utara khususnya Kota Manado. Masyarakat Minahasa dikenal sangat ramah. Daerah berpenduduk lebih 300.000 jiwa itu dikenal dengan tradisi serta kebudayaannya yang banyak, seperti dalam bidang kesenian baik tarian, rumah adat dan kegiatan sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat Minahasa Suku Minahasa juga memiliki ciri khas yang membedakan dengan daerah  lainnya.

Upacara Toki Pintu

Tradisi unik suku Minahasa berikutnya upacara Toki Pintu. Tradisi ini merupakan tradisi saat pernikahan suku Minahasa yang mayoritas memeluk agama Kristen Protestan. Acara dilakukan dengan makan malam dan kebaktian. Toki Pintu berarti mengetuk pintu. Toki Pintu sendiri berisi antar harta hingga prosesi upacara adat yang dirangkai dalam satu hari pelaksanaan. Upacara ini diawali dengan memastikan bahwa kediaman pengantin wanita dalam keadaan sepi dan sunyi. Semua jendela dan pintu harus tertutup dan lampu dimatikan. Kemudian, rombongan pengantin pria menghampiri kediaman mempelai wanita dipimpin oleh seorang wali atau utusan dengan membawa mas kawin berupa kain bentenan, buah-buahan, aneka makanan khas Manado, umbi-umbian, dan seperangkat busana atau kosmetik seperti sepatu atau perhiasan. Lalu, wali pihak pria akan mengetuk pintu tiga kali. Diketukannya yang pertama dan kedua, pintu tidak akan dibuka, dan baru pada ketukan ketiga pintu akan dibuka, dan disambut oleh wali pengantin wanita.

Baca Juga : Menjelajahi 6 Objek Wisata Rahasia Tasmania yang Tersembunyi

Waruga

Peninggalan budaya suku Minahasa yang mudah dijumpai hingga saat ini yakni waruga. Waruga atau kuburan tua merupakan peti kubur peninggalan zaman megalitikum orang Minahasa. Menurut catatan sejarah waruga berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari kata Wale Maruga yang berarti rumah dari badan yang akan kering. Sedangkan dalam arti lainnya, yakni Wale Waru atau Kubur dari Domato (jenis tanah lilin). Nama waruga juga berasal dari kata waru dan ruga. Waru berarti rumah, sedangkan ruga berarti badan. Dengan demikian, waruga dapat dimaknai sebagai rumah tempat raga kembali ke surga. Namun yang pasti, waruga atau bisa disebut juga dengan makam leluhur merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Indonesia yang berada di Sulawesi Utara tepatnya Minahasa.

Pesta kuncikan

Tradisi unik suku Minahasa berikutnya Pesta Kuncikan. Tradisi ini dimeriahkan oleh masyarakat suku Minahasa untuk menutup tahun yang lama dan menyambut tahun yang baru. Kuncikan merupakan tradisi sebagian masyarakat untuk mengunci tahun yang lama dan menyambut tahun yang baru. Kegiatan ini biasanya digelar pada hari Minggu terakhir di bulan Januari. Dalam pesta kuncikan terdapat sebuah tradisi yang selalu menjadi simbol utama yaitu tradisi Sakaiba.

Syukuran

Tradisi unik suku Minahasa lainnya yaitu syukuran. Kegiatan ini biasanya dirayakan masyarakat di seluruh tanah Minahasa. Dirayakan setiap tahun di setiap kecamatan atau kawasan dengan  diadakan upacara syukuran yang dikaitkan dengan upacara keagamaan.

Tarian Kabasaran

Selain musik tradisional, Suku Minahasa juga memiliki salah satu tarian yang mampu menarik banyak perhatian para wisatawan atau pelancong. Tarian ini meniru perilaku yang dilakukan para leluhur saat melawan musuh. Tarian suku Minahasa yakni tarian perang ini bernama Kabasaran. Kabasaran adalah sekelompok pria yang memakai baju adat perang Minahasa. Kabasaran juga sering disebut dengan Cakalele, tapi sebutan Cakalele adalah sama dengan tarian perang dari daerah Maluku. Pada saat ini tarian perang Kabasaran dipertunjukan pada saat-saat pawai dan juga pada waktu penjemputan tamu-tamu penting daerah. Tarian Kabasaran masih bertahan hingga kini. Di balik penampilannya yang serba merah, tarian ini memiliki sejarah menakjubkan. Bukan karena tampilan mereka layaknya seorang pemberani dengan pedang yang siap menghunus. Atau penampilannya tampak sangar saat mata terbelalak dengan pakaian serba merah. Namun segala aksesoris lehernya dengan beragam tengkorak dijejer kadang membuat bulu kuduk berdiri bagi yang baru melihatnya.

Kolintang

adalah instrumen musik yang biasanya dipakai sebagai pengiring dari seorang penyanyi lagu-lagu daerah ataupun cuma musik instrumen saja. Kolintang sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan juga sudah dipromosikan ke luar negeri. Kolintang dimainkan oleh sebuah regu, biasanya satu regu itu terdiri dari 5 sampai 6 orang. Kolintang diajarkan sejak dini kepada anak-anak bahkan ketika masih duduk di bangku sekolah. Bentuknya yang cukup besar mampu menghasilkan suara nan merdu.

Mapalus

Tradisi unik suku Minahasa lainnya yaitu yang masih bertahan hingga saat ini salah satunya adalah Mapalus. Kegiatan Mapalus masih dilakukan masyarakat suku Minahasa yang tersebar di kota atau kabupaten di Sulawesi Utara. Mapalus merupakan sebuah bentuk kebudayaan yang direalisasikan melalui kegiatan saling membantu yang dilakukan suatu kelompok masyarakat.  Mapalus yaitu budaya gotong-royong atau tolong-menolong yang berkembang di Minahasa. Mapalus juga merupakan suatu model kerja bersama beberapa keluarga, kelompok-kelompok kerja yang dibentuk dalam suatu wilayah.

Gotong royong memang sudah menjadi sebuah kegiatan yang menyimbolkan masyarakat Indonesia. Sama halnya dengan suku Minahasa, karena terdapat sebuah sistem tradisionalnya yang berbentuk gotong royong. Budaya mapalus atau bekerja bersama dan saling bantu ini telah berakar dan membudaya di kalangan masyarakat Minahasa. Budaya tersebut sampai saat ini masih terjaga dan terpelihara. Pada kehidupan sehari-hari masih bisa dirasakan sikap suka membantu dan bekerja sama. Kecuali beberapa kegiatan yang merupakan rangkaian dari ‘mapalus’ seperti memakai alat tiup ketika mengajak kelompok untuk ber’mapalus’ sudah mulai hilang. Perlahan keaslian mulai terkikis dengan modernisasi.